Perempuan Hebat dan Cerdas di Indonesia

Sharing is caring!

Oleh: Nani Rochaeni

BN NEWS || Tuhan menciptakan perempuan dan meletakan kedudukannya sebagai pendamping kaum laki-laki, dalam arti yang luas. Yakni sebagai jembatan bagi kehidupan yang tidak terlepas dari dua peran antara lain di dalam keluarga dan sebagai bagian dari lingkungannya dimana ia pun dituntut hadir sebagai anggota masyarakat.

Bacaan Lainnya

Perempuan dalam keluarga tentu mempunyai andil yang besar, sebab selain berperan dalam menjaga keutuhan rumah tangga juga diharapkan bisa mempererat hubungan dengan generasi penerus, kedudukan, tugas, kewajiban, dan fungsinya. Perempuan juga mempunyai kemampuan dan tanggung jawab untuk menciptakan suasana keluarga yang sakinah.

Peran sebagai anggota masyarakat, perempuan menempati posisi yang strategis dan sentral terutama dalam pembangunan lingkungan.
Oleh karena itu, perempuan mempunyai beban dan peran multi dimens sehingga ia dituntut aktif dinamis dan kreatif dalam mengembangkan nilai-nilai positif, sekaligus bisa memangkas nilai-nilai negatif di lingkungan masyarakat sekitarnya. Oleh karenanya perempuan harus kuat guna mendukung terciptanya emansipasi.

Emansipasi menurut garis sejarah awalnya dicetuskan oleh kaum perempuan di Barat, yaitu suatu usaha kaum perempuan memerdekakan diri dari cengkeraman kekuasaan kaum laki-laki dengan tujuan untuk mendapatkan haknya sebagai makhluk sosial.

Dalam sejarahnya, kaum perempuan pada zaman Jahiliyah, baik di Timur maupun Barat, selalu mendapatkan perlakuan buruk hingga dijadikan budak, dipermainkan bahkan diperjualbelikan. Emansipasi kemudian digagas sebagai tuntutan untuk mendapatkan hak dan kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki dalam segala aspek kehidupan.

Menurut penulis, sebenarnya perempuan di Indonesia sudah mendapatkan hak dan kedudukan sangat baik. Dibilang politik sudah ada perempuan di tanah air yang sudah menjadi Presiden. Megawati misalnya. Sebuah pencapaian paling tinggi di negeri ini.

Kemudian ada Rini Suwandi seorang professional handal yang pernah menjabat sebagai Menteri Perdagangan, Sri Mulyani perempuan cerdas brilian yang menduduki berbagai jabatan di pentas nasional dan Internasional dan masih banyak lagi.

Maka Sangat mengherankan bila kaum perempuan Indonesia tidak merasa terwakili oleh prestasi yang diraih mereka ini. Disisi lain, banyak sekali wanita karir di Indonesia yang merangkap menjadi ibu tetapi tetap juga sukses di profesinya.

Profil-profil tersebut sudah menggambarkan bahwa perempuan mempunyai andil yang hebat dalam politik dan perekonomian Negara.

Pendidikan bagi perempuan dikatakan masih rendah. Termasuk angka partisipasinya.
Karena dilihat dari kenyataan di lapangan masih banyak perempuan yang hanya lulusan sekolah dasar kemudian tidak melanjutkan ke pendidikan menengah atau bahkan ke perguruan tinggi.

Ada beberapa alasan yang menyebabkan perempuan tidak memiliki keinginan atau kecenderungan untuk melanjutkan pendidikan.
Pertama, karena pandangan toelogis bahwa perempuan merupakan bagian dari laki-laki. Dia adalah tulang rusuk laki-laki. Pandangan ini diambil dari teks ajaran agama, bahwa yang bisa menjadi pemimpin hanyalah kaum laki-laki, sedangkan perempuan tidak.

Kedua, pandangan sosiologis bahwa perempuan dalam berbagai hal banyak diposisikan berada di dalam rumah. Lebih banyak berada di dalam urusan domestik ketimbang urusan publik. Pandangan ini juga menyatakan perempuan tidak perlu pendidikan yang tinggi karena lebih banyak berada diruang domestik itu.

Ketiga, pandangan psikologis bahwa perempuan dianggap tidak penting untuk berpendidikan tinggi karena posisinya yang lebih banyak menjadi istri. Dalam tradisi kita banyak anggapan perempuan harus segera dikawinkan. Kawin muda lebih baik daripada menjadi perawan tua. Orang tua merasa sangat ketakutan apabila anak perempuannya tidak segera mendapatkan jodoh.

Keempat, pandangan budaya bahwa perempuan hanya menjadi pelengkap saja. Bahkan ada ungkapan tradisi yang menyatakan ”perempuan itu, suwargo nunut neroko katut”. Artinya bahwa perempuan itu hanyalah konco wingking, atau kawan di belakang atau di dalam rumah.

Kelima, pandangan ekonomi bahwa banyak orang tua yang lebih mementingkan pendidikan anak laki-lakinya ketimbang anak perempuannya. Pandangan-pandangan seperti ini yang mengakibatkan kurangnya angka partisipasi perempuan dibidang pendidikan. Banyak perempuan, terutama di pedesaan tidak melanjutkan pendidikannya. Lulus sekolah dasar dianggap sudah cukup.

Masalah lainnya yang dihadapi perempuan adalah menikah muda, bercerai, dan menjadi single parent. Meskipun perceraian tidak pernah diinginkan namun pada kenyataannya sangat sering terjadi. Selain alasan menikah muda, single parent juga bisa terjadi karena kehamilan sebelum menikah dan kematian suami.

Menjadi seorang single parent tidaklah mudah karena membutuhkan energi yang lebih. Apalagi adanya embel-embel janda, sering kali dalam masyarakat diremehkan. Masalah ekonomi keluarga yang harus ditopang sendiri, belum lagi kewajiban harus membesarkan anak.

Di satu sisi perempuan harus memenuhi kebutuhan psikologis anak-anaknya dengan kasih sayang, perhatian dan rasa aman, Disamping harus memenuhi semua kebutuhan fisik anak-anaknya yaitu kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan yang lain berkaitan dengan materi.

Atinya, perempuan yang berstatus single parent harus mampu mengkombinasikan antara pekerjaan domestik dan publik demi tercapainya tujuan keluarga yang utama, yaitu membentuk anak yang berkualitas.

Sesungguhnya, tidak mudah menjalankan dua peran sekaligus, sehingga dibutuhkan manajemen keluarga khusus dan matang agar anak yang dibesarkan pada kondisi single parent sama berkualitasnya dengan anak yang dibesarkan pada keluarga utuh.

Sebab itu sebagai perempuan generasi masa depan, kita harus berani membekali diri dengan segala macam pengetahuan, pengalaman yang positif serta mental yang kuat.

Ketatnya persaingan dan kerasnya hidup harus bisa dihadapi dengan baik, karena generasi yang baik itu bergantung pada perempuannya. Kodrat seorang perempuan memang menjadi seorang ibu atau domestik, namun tidak salah juga bila perempuan pada akhirnya bisa berperan di sektor publik. Selama bisa dilakukan dengan keseimbangan antara sebagai seorang istri dan juga seorang ibu, misalnya.

Penulis adalah :
Caleg DPRD DAPIL 4 Kabupaten Bandung
Sekretaris KPPG Kabupaten Bandung
Ketua Bidang Organisasi Kaderisasi dan Keanggotaan DPD GOLKAR Kabupaten Bandung
Wakil Sekretaris Bidang Organisasi DEPIDAR IX SOKSI Jawa Barat
Wakil Sekretari Bidang Sosial Pemuda Panca Marga (PPM) Jawa Barat
Wakil Bendahara Kaukus Perempuan Politik Indonesia Kabupaten Bandung

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.