BN NEWS, Cirebon || Kasus perkelahian antara dua pemuda, AD dan GL, di Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon, berujung panjang setelah salah satu pihak melaporkan kejadian tersebut sebagai dugaan pengeroyokan. Menurut informasi, awalnya terjadi perselisihan antara AD dan GL di salah satu lokasi yang sempat dilerai oleh warga sekitar, PJ dan WS. Namun, tak lama setelah AD berpindah menuju kediaman ibu RT Kus, GL kembali mendekatinya, dan situasi memanas hampir berujung bentrok lagi. Mendengar keributan ini, beberapa warga, termasuk PJ, WS, ibu RT Kus, KD, MD, dan AL, segera berusaha melerai.
Namun, AD menilai bahwa usaha peleraian tersebut justru merupakan bentuk pengeroyokan terhadap dirinya. Upaya damai di Polsek Gegesik sempat tercapai, namun tak lama kemudian AD kembali melaporkan kejadian ini ke pihak berwenang. Laporan tersebut akhirnya dilimpahkan oleh Polsek Gegesik ke Polresta Cirebon untuk penyelidikan lebih lanjut.
Ketika ditanya mengenai kasus ini, Dr. Yanto Iryanto, S.H., M.H., kuasa hukum dari enam saksi dari Desa Gegesik Kulon dan Lor yang dipanggil untuk dimintai keterangan, menyampaikan pendapatnya. Menurutnya, pelaporan pengeroyokan yang dituduhkan oleh AD tidak masuk akal karena perkelahian antara AD dan GL awalnya adalah duel satu lawan satu, dan tidak ada indikasi pengeroyokan.
“Ini kasus lucu. Kalau memang ada enam orang melawan satu, orang itu bisa mati. Tapi kenyataannya, tidak ada luka serius atau cacat permanen yang dialami oleh AD,” kata Dr. Yanto.
Ia juga menekankan bahwa peristiwa terjadi di lokasi lain, bukan di rumah RT, sehingga tuduhan pengeroyokan yang diarahkan kepada enam warga tersebut dianggap tidak berdasar.
Lebih lanjut, Dr. Yanto mempertanyakan dasar laporan pengeroyokan yang diduga dibuat tanpa bukti visum yang relevan. “Kalau memang benar ada dugaan 170 (pengeroyokan), mana visumnya ? Peristiwa ini, kalau tidak salah, terjadi pada 22 atau 24 Agustus. Namun, visum harus jelas tanggalnya dan menguatkan kejadian sebenarnya,” ujarnya.
Dr. Yanto juga menyampaikan kekhawatirannya atas adanya dugaan intervensi dari oknum tertentu yang dinilai tidak seharusnya mengganggu proses hukum. “Kasus ini seharusnya bisa diselesaikan di tingkat Polsek, dengan pendekatan Restorative Justice (RJ). Namun, kenapa harus melibatkan Polres hingga ada indikasi intervensi? Ini masalah sederhana antara warga, seharusnya bisa diselesaikan secara musyawarah,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa kehadiran Babinkamtibmas dan Babinsa di tingkat desa seharusnya dapat memfasilitasi penyelesaian kasus semacam ini, tanpa harus memperbesar masalah. “Seharusnya mereka bisa memberikan edukasi hukum kepada masyarakat. Jangan semua kasus langsung dibawa ke ranah hukum atau bahkan dipenjara. Itu hanya akan membuang anggaran negara untuk hal-hal yang sepele,” katanya.
Dr. Yanto berharap agar Polres Cirebon melaksanakan perintah Kapolri agar lebih memperhatikan prinsip-prinsip Restorative Justice dalam menyelesaikan kasus-kasus seperti ini, khususnya yang menyangkut antar warga di satu daerah. “Jika masih bisa diselesaikan secara damai, lakukan musyawarah mufakat. Jangan sampai kasus kecil antar warga ini justru menjadi komoditas politik di tengah Pilkada,” pungkasnya.
Kasus ini kini sedang di tangani di Polresta Cirebon, dan masyarakat setempat berharap agar penegak hukum dapat menyelesaikannya dengan seadil-adilnya tanpa adanya intervensi pihak-pihak yang berkepentingan. (Red)