Kejaksaan Agung Setujui 10 Perkara Diselesaikan Lewat Restorative Justice, Salah Satunya Kasus KDRT di Tebing Tinggi

Sharing is caring!

Jakarta, 30 April 2025 || Kejaksaan Agung Republik Indonesia kembali menegaskan komitmennya dalam mendorong penegakan hukum yang humanis dan berkeadilan dengan menyetujui 10 perkara pidana untuk diselesaikan melalui mekanisme Restorative Justice (Keadilan Restoratif). Persetujuan ini disampaikan oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum), Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, dalam ekspose virtual pada Rabu, 30 April 2025.

Salah satu perkara yang disetujui untuk dihentikan penuntutannya adalah kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang melibatkan tersangka Jhony Wijaya Sumbayak dari Kejaksaan Negeri Tebing Tinggi. Tersangka sebelumnya disangka melanggar Pasal 44 Ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT.

Bacaan Lainnya

Kronologi kasus bermula pada Oktober 2024, saat tersangka diduga melakukan kekerasan fisik terhadap saksi korban Desmon Saragih akibat penolakan permintaan uang sebesar Rp25 juta. Namun, melalui proses mediasi dan pendekatan keadilan restoratif, tersangka mengakui kesalahan, meminta maaf, dan korban pun dengan tulus memaafkan serta meminta agar perkara ini tidak dilanjutkan ke meja hijau.

Atas dasar tersebut, Kejari Tebing Tinggi mengajukan penghentian penuntutan ke Kejati Sumatera Utara yang kemudian disetujui oleh JAM-Pidum dalam forum resmi.

“Keadilan restoratif adalah cermin bahwa hukum hadir bukan hanya untuk menghukum, tetapi juga menyembuhkan. Jika ada itikad baik, permintaan maaf yang tulus, dan pengampunan dari korban, maka hukum harus memberi ruang untuk memulihkan hubungan sosial,” ujar Prof. Asep Nana Mulyana dalam arahannya.

Selain perkara di Tebing Tinggi, sembilan perkara lainnya yang turut disetujui penyelesaiannya melalui Restorative Justice meliputi kasus-kasus KDRT, pengeroyokan, penganiayaan, pencurian, penipuan, dan penadahan, dari berbagai wilayah seperti Sambas, Mempawah, Sumbawa, Mataram, Talaud, Buleleng, Natuna, hingga Bintan.

Alasan pemberian keadilan restoratif antara lain:
– Tersangka dan korban telah berdamai secara sukarela tanpa tekanan,
– Tersangka belum pernah dihukum dan baru pertama kali melakukan tindak pidana,
– Ancaman hukuman tidak lebih dari lima tahun,
– Ada pertimbangan sosiologis dan respons positif dari masyarakat,
– Penyelesaian perkara di luar pengadilan dinilai lebih bermanfaat bagi semua pihak.

JAM-Pidum juga menginstruksikan agar para Kepala Kejaksaan Negeri segera menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) sesuai Peraturan Kejaksaan RI No. 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum No. 01/E/EJP/02/2022.

Langkah ini menunjukkan bahwa hukum tidak selalu identik dengan balas dendam, tetapi juga ruang untuk memaafkan dan menyembuhkan, demi terciptanya tatanan sosial yang lebih harmonis. (Hopni AY)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.