Dr KH Saiful Amar Lc MSi Raih Doktor di UIN Walisongo Lewat Disertasi tentang Kitab dan Toleransi

Sharing is caring!

BN News. Semarang || Langkah kaki seorang dai tak berhenti di mimbar dan mihrab. Di ruang akademik, ia meracik makna dan mengurai hikmah. Ketua Pengurus Wilayah Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (PW LDNU) Jawa Tengah, Dr KH Saiful Amar Lc MSi, resmi menyandang gelar doktor usai mempertahankan disertasi bertajuk, “Diskursus dan Implementasi Beragama Secara Moderat pada Pondok Pesantren Salaf dan Modern di Indonesia (Studi Kitab-kitab pada Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiien Lirboyo Kediri dan Darussalam Gontor Ponorogo)”, Selasa (15/07/2025), di Gedung Pascasarjana UIN Walisongo, Jrakah, Tugu, Semarang.

Bacaan Lainnya

 

Disertasi itu ia sampaikan di hadapan tim penguji yang dipimpin langsung oleh Rektor UIN Walisongo, Prof Dr Nizar MAg, dengan Prof Dr Mudjahirin Thohir MA sebagai promotor, Prof Dr HM Mukhsin Jamil MAg sebagai kopromotor, serta para penguji terkemuka: Prof Dr H Tulus Musthofa Lc MA, Prof Dr H Musahadi MAg, Prof Dr H Imam Yahya MAg, dan Prof Dr H Muhammad Sulthon MAg.

Suasana khidmat terasa ketika tokoh-tokoh hadir turut memberikan restu keilmuan: Rektor UIN Sunan Kudus Prof Dr KH Abdurrohman Kasdi Lc MSi, CEO BRI Kanwil Jateng Hari Basuki, Kepala Biro Kompas TV Agus Sutiyono, serta para cendekiawan, kiai, dan keluarga besar Nahdlatul Ulama.

Dalam disertasinya, Kiai Amar, yang juga pengasuh Pondok Pesantren Al-Ma’rufiyyah Beringin, Semarang, mengurai dengan cermat bagaimana teks-teks klasik yang diajarkan di pesantren dapat mempengaruhi sikap keberagamaan santri, termasuk dalam hal toleransi antarumat.

Ia menyoroti isi kitab al-Muhadzdzab yang melarang Muslim menyapa nonmuslim dengan salam, bahkan menyarankan untuk ‘memojokkan’ mereka di jalan. Di pondok modern seperti Darussalam Gontor, melalui kitab-kitab Tauhid dan Aqidah, juga ditemukan ajaran untuk menjauhi perayaan agama lain, termasuk ulang tahun dan penggunaan penanggalan Masehi.

Di Lirboyo, kitab al-Mahalli mengajarkan bahwa nonmuslim di wilayah mayoritas Islam dikenai jizyah, tidak boleh merenovasi rumah ibadah, dan tak diperkenankan menggunakan tunggangan mewah.

Namun, Kiai Amar menegaskan, “Pendidikan adalah ladang suci untuk menyemai nilai-nilai luhur dan menjadi pilar perubahan sosial. Maka, semangat moderasi dalam beragama adalah lentera yang harus terus dijaga dalam ruang-ruang pesantren.”

Menurutnya, kitab-kitab klasik tetap sarat hikmah jika didekati dengan kacamata maqashid asy-syari’ah, tujuan-tujuan luhur syariat. Pemahaman moderasi seperti yang ditulis Imam Asy-Syathibi dalam al-Muwafaqat dan dikembangkan dalam Fiqh al-Muwathanah, menjadi ruh penting agar kitab tidak dimaknai secara kaku, tetapi kontekstual dan solutif.

Di pesantren modern seperti Gontor, nilai-nilai moderasi tak selalu tertulis di kitab, tapi hidup dalam kultur dan karakter, keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukhuwah islamiyah, dan kebebasan berpikir. Semua itu menjadi sistem nilai dalam laku harian santri.

Menutup paparannya, Kiai Amar menyampaikan harapan,

“Moderasi bukan hanya konsep keilmuan, tetapi laku harian yang terus dibangun. Di tengah Indonesia yang majemuk, pendidikan moderat adalah jawabannya. Toleransi bukan kompromi akidah, tetapi seni untuk hidup bersama dalam damai.”

Disertasinya tak hanya menjelajah lembar-lembar kitab, tapi juga menyingkap bagaimana pesantren dapat menjadi benteng nilai yang inklusif, berakar dari tradisi, dan tumbuh dalam semangat zaman. (Kontributor : Agus F/Djarmanto-YF2DOI//Red)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.