Menag: Jangan Monopoli Tafsir

Sharing is caring!

BN News. Jakarta | | Menteri Agama, Nasaruddin Umar, menegaskan pentingnya berpikir kritis dan berani memperbarui pemikiran dalam memahami ajaran Islam. Pesan ini ia sampaikan saat memberikan sambutan dalam Studium Generale Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKU-MI) di Aula VIP Masjid Istiqlal, Jakarta, Rabu(5/2/2025). Acara ini mengusung tema “Mewujudkan Indonesia Sebagai Kiblat Peradaban Islam Rahmatan li An-Nisa.”

Bacaan Lainnya

Dalam kesempatan tersebut, Menag menyoroti pentingnya keterbukaan dalam menafsirkan ajaran Islam. Ia menekankan bahwa pemahaman yang lebih luas dan mendalam sangat diperlukan agar tidak terjadi monopoli tafsir oleh satu kelompok tertentu.

“Penting bagi setiap individu untuk memiliki keberanian berpikir kritis. Ulama besar lahir dari mereka yang berani memperbaharui pemikiran dengan tetap berpegang pada kaidah-kaidah yang kuat. Tanpa pemahaman yang mendalam, seseorang hanya akan memahami Islam di permukaan tanpa mampu menggali logika yang lebih dalam,” ujar Menag yang juga Imam Besar Masjid Istiqlal.

Sebagai contoh, Menag mengangkat isu bias gender dalam tafsir ayat Al-Quran. Ia menyebutkan bahwa bahasa Arab memiliki kecenderungan patriarki, seperti dalam kaidah yang menyatakan bahwa jika laki-laki dan perempuan berkumpul dalam satu kelompok, maka bentuk mudzakkar (maskulin) yang digunakan. Salah satu contoh ayat yang sering diperdebatkan adalah “Ar-Rijaalu Qawwaamuuna ‘ala an-nisa”, yang sering diterjemahkan sebagai laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan.

“Ada pendapat yang mengatakan bahwa makna tersebut merupakan hasil tafsir yang bias gender. Oleh karena itu, pemahaman yang lebih luas dan mendalam sangat diperlukan agar tidak terjadi monopoli tafsir oleh satu kelompok saja,” tegasnya.

Menag juga mengingatkan bahwa generasi penerus Muslim harus memiliki wawasan keilmuan yang menyeluruh. “Kaum Muslimin dituntut untuk menguasai ilmu secara menyeluruh, tidak hanya dari aspek ritual, tetapi juga dari sudut pandang linguistik, budaya, dan sejarah. Dengan pemahaman yang mendalam, umat Islam dapat menjaga nilai-nilai agama dengan tetap relevan dalam perkembangan zaman,” tambahnya.

Dalam acara ini, turut hadir Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Dra. Hj. Aifatul Choiriyah Fauzi, M.Si, Ketua Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia Nyai Hj. Dra. Badriyah Fayumi, Lc., M.A., Direktur PKU-MI Prof. Dr. KH. Ahmad Thib Raya, M.A., dan Manager Akademik PKU-MI Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm.

Menteri PPPA, Aifatul Choiriyah Fauzi, dalam kesempatan yang sama menyampaikan apresiasi terhadap PKU-MI yang turut melibatkan calon ulama perempuan. Menurutnya, kehadiran ulama dengan perspektif gender sangat diperlukan di tengah dinamika sosial yang semakin kompleks.

“Kita memerlukan kader ulama atau pemimpin masa depan yang tidak hanya memegang teguh ajaran agama, tetapi juga berperan dalam kepemimpinan progresif yang berperspektif gender, memberdayakan perempuan dan melindungi anak Indonesia,” ujar Menteri PPPA.

Ia juga menyoroti tantangan besar dalam mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia, salah satunya adalah tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak. Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024, satu dari empat perempuan usia 15-64 tahun di Indonesia pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual sepanjang hidupnya. Sementara itu, Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2024 menunjukkan sekitar 50,78 persen anak usia 13-17 tahun pernah mengalami kekerasan sepanjang hidup mereka, dengan persentase anak laki-laki sebesar 49,83 persen dan anak perempuan 51,78 persen.

“Angka-angka ini mengingatkan kita bahwa perjuangan untuk mengakhiri ketimpangan gender dan kekerasan terhadap perempuan serta anak masih menjadi pekerjaan rumah besar yang harus kita selesaikan bersama-sama,” tegas Menteri PPPA.

Dengan hadirnya program seperti PKU-MI, diharapkan muncul generasi ulama yang memiliki pemahaman keislaman yang luas, mendalam, dan kontekstual, sehingga mampu memberikan kontribusi bagi kemajuan Islam di Indonesia serta mewujudkan peradaban yang lebih inklusif dan berkeadilan.

(Zaenal DR)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.