BN News. Semarang || Dua warga asal Demak dan Semarang, dibekuk tim Ditreskrimsus Polda Jateng atas dugaan melanggar UU Telekomunikasi dan UU Perlindungan konsumen. Kedua tersangka tsb berinisial MI (warga Demak) dan IMB (asal Semarang), ditangkap setelah menjual handphone yang tak memenuhi persyaratan teknis sesuai ketentuan pemerintah atau dikenal dengan handphone black market.
Awalnya petugas Ditreskrimsus menemukan adanya counter Handphone di Kabupaten Demak bernama MC yang tidak memenuhi standar persyaratan teknis, yaitu tidak menempelkan label SDPPI (Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika) dari Kemenkominfo RI pada perangkat handphone, yang berjumlah 36 unit.
Dari pengembangan tersebut, penyidik juga mendapati counter Handphone lain (toko HS) di wilayah Semarang yang juga menjual Handphone tidak terdapat label SDPPI.
“Modusnya adalah tersangka membeli handphone dari berbagai merek dan type melalui online yang diduga merupakan barang BM (Black Market). Kemudian dijual di counter milik tersangka baik secara online maupun dijual langsung,” ungkap Dirreskrimsus Polda Jateng, Kombes Pol Dwi Subagio saat konferensi pers, Kamis (20/7/2023).
Dalam menjalankan aksi, ungkapnya, kedua tersangka menjual Handphone ilegal dengan menawarkan garansi selama satu bulan, dan terkait dengan device (perangkat) apabila lewat 1 bulan garansi tidak berlaku.
Disampaikan Dwi Subagio, Handphone baru yang dijual tersangka adalah Handphone keluaran lama yang sudah tidak diproduksi lagi oleh pabrik Handphone. Handphone tidak dilengkapi dengan sertifikat SDPPI tersebut dibelinya dengan harga dari Rp 300 ribu hingga Rp1,3 juta.
“Lalu Handphone tersebut dijual dengan harga bervariasi tergantung merek dan tahun keluaran, yaitu antara Rp 700 ribu hingga Rp 1,5 juta,” jelasnya.
Sementara itu, tersangka MI mengaku dirinya sudah memperdagangkan Handphone ilegal tersebut selama 6 bulan (sejak Desember 2022). Sedangkan tersangka IMB dari Semarang sudah memperdagangkan Handphone tersebut selama 5 bulan (akhir bulan Februari 2023).
Kombes Dwi Subagio menuturkan, berdasar hasil penyidikan diketahui keuntungan yang diperoleh para tersangka cukup besar.
“Omset penjualan handphone yang diperoleh dari penjualan handphone tersebut cukup besar, sekitar Rp 15 juta per bulan,” jelasnya.
Berdasar pengakuan tersangka, tuturnya, handphone baru yang tidak dilengkapi dengan label SDPPI harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan handphone baru yang resmi yang memiliki label SDPPI.
“Dalam kasus ini, penyidik berhasil mengamankan barang bukti Handphone berbagai merek dan jenis dengan total ada 173 unit. Total nilai barang yang diamankan sejumlah Rp. 259.500.000,- ,” rincinya.
Sedangkan Kabidhumas Polda Jateng, Kombes Pol Stevanus Satake Bayu mengatakan, atas perbuatannya para tersangka Pasal 62 ayat (1) Jo Pasal 8 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Pasal 52 jo Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
“Para tersangka diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,” terangnya.
Kasubdit 1 Indagsi Ditreskrimsus, AKBP Rosyid Hartanto menghimbau warga masyarakat membeli handphone yang resmi dan tidak mudah tergiur harga murah. Apalagi dengan jaminan garansi yang cuma satu bulan.
Rosyid menyebut, karena Handphone belum memiliki sertifikasi pengujian dari SDPPI maka tingkat radiasi signal beserta konsumsi daya baterainya tidak dapat dipertanggungjawabkan.
“Dari setiap perangkat yang tidak memiliki sertifikat SDPPI, terhadap perangkat tersebut tidak terjamin keterhubungan jaringannya, sehingga sering blank atau kehilangan sinyal,” ujarnya.
“Untuk itu masyarakat agar teliti sebelum membeli handphone. Harus dilihat apakah Handphone yang dibeli sudah dilakukan sertifikasi, yang dapat dilihat dalam kardus/perangkat Handphone yang sudah tertempel label SDPPI,” pungkasnya. (Sumber : Bidhumas Polda Jateng//Jurnalis : Warto).